Vegetasi kawasan hutan lindung mangrove Muaragembong, Kabupaten
Bekasi, Jawa Barat, semakin berkurang karena okupasi masyarakat yang didukung beberapa
pengusaha tambak bandeng. Sejumlah masyarakat yang tergabung dalam @Ekail @BekasiGreenAttack
dan @SaveMugo tengah berusaha mengembalikan fungsi kawasan hutan lindung
mangrove tersebut seperti sediakala untuk mencegah abrasi daratan pantai utara
dan intrusi air laut ke dataran yang lebih tinggi.

Kisah pun berawal dari tanah partikelir yang kemudian berubah
status menjadi tanah negara bebas pada tahun 1949. Bupati Bekasi kemudian
menyerahkan tanah seluas 9.311 hektar tersebut kepada Kepala Dinas Kehutanan
Jakarta Raya. Menteri Pertanian kemudian menetapkan lahan eks partikelir
Cabangbungib, Pondok Tengah, Babadan, Pangkalan, dan Terusan sebagai hutan
tetap seluas 9.311 hektar. Berita Acara Tata Batas (BATB) kelompok hutan Ujung
Karawang KPH Bogor dibuat tanggal 2 Februari 1957 dan disahkan 31 Mei 1957
seluas 10.481,1 hektar. Pemerintah kemudian menambah kawasan hutan tersebut
seluas 1.123 hektar karena ada tanah timbul. Kawasan ini merupakan muara Sungai
Citarum (sekarang yang disebut sebagai Muara Gembong) yang memiliki hulu di
kawasan bendungan Jatiluhur. Perkembangan masyarakat yang semakin padat di
kawasan tersebut membuat Menteri Kehutanan atas usulan Bupati Bekasi
menerbitkan surat keputusan Menhut Nomor SK.475/Menhut-II/2005 pada 16 Desember
2005 untuk mengubah fungsi kawasan dari hutan lindung menjadi hutan produksi
tetap seluas 5.170 hektar Masyarakat kemudian mendiami delapan desa dan tiga
kecamatan yang berada di dalam kawasan tersebut.Sebelumnya, pihak Perhutani
telah berkali-kali menanami mangrove di kawasan tersebut. Namun, masyarakat
yang masih berada di dalam kawasan juga terus menebangi mangrove untuk membuat
tambak, dan beberapa pendatang dari Indramayu menebang untuk dijadikan kampung
nelayan.
Untungnya sejumlah masyarakat mulai mengerti arti pentingnya
ekosistem mangrove bagi kelangsungan lingkungan tempat mereka tinggal lalu
mulai ikut ambil andil dalam menjaga dan memanfaatkan buah pidada putih (
Sonneratia Alba) menjadi sirup, dodol, dan aneka makanan , selain itu beberapa Komunitas ( Seperti Bekasi Green Attack dan @SaveMugo ) berusaha mengembalikan fungsi
hutan dari kerusakan yang lebih buruk.
 |
Teman-Teman Kemangteer Jakarta yang ikut mengunjungi Muara Gembong |
.jpg)
Hutan Mangrove di Muara
Gembong sendiri, tidak hanya tempat pemijahan & daur hidup siklus hewan
Crustaceae, Pisces, dan beberapa Mollusca, namun merupakan rumah bagi Lutung
Jawa (Trachypithecus
auratus) dan Monyet Ekor Panjang. Mereka menggantungkan hidup pada
Pohon Pidada yang tumbuh di sekitar kawasan delta dan muara Sungai Citarum
tersebut. Sayangnya keberadaan mereka terancam punah akibat semakin tergusurnya
habitat mereka karena ekstensifikasi tambak dan perburuan liar
Perlu diketahui ini guys, populasi
lutung jawa (Trachypithecus auratus) semakin mengalami penurunan, karena
itu pada 2008 dikategorikan oleh IUCN Redlist dalam status konservasi Terancam (Vulnerable). CITES juga memasukkan spesies ini dalam Apendiks II. Ancaman
utama terhadap lutung jawa disebabkan oleh berkurangnya habitat sebagai dampak deforestasi dan
perburuan yang dilakukan manusia.
“Dulunya tambak-tambak itu
adalah hutan bakau. Karenanya kita ngumpulin donasi untuk membayar lahan tambak
itu untuk kita jadikan kembali hutan bakau, agar kembali ke asalnya sebagai
habitat Lutung Jawa salah satunya,” jelas Bang Arif.
 |
Kelompok Lutung Jawa Muara Gembong yang hidup di antara pidada |
|
 |
Warakas, mangrove asosiasi yang digunakan sbg bahan baku keripik |
|
 |
Acanthus ebracteatus, mangrove asosiasi sebagai obat asma & penawar racun
|
|
 |
Perkampungan yang nyaris tenggelam karena termakan abrasi |
|
 |
salah satu monyet yang "menyambut pengunjung |
|
 |
salah satu sudut sungai di Muara Gembong |
|
 |
Menelusuri bantaran sungai |
|
.jpg) |
Penduduk memanfaatkan buah pidada untuk dijadikan sirup dan aneka jajanan |
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar