tembakau

tembakau

Selasa, 07 Oktober 2014

Di Ujung Hilir Sungai Citarum




Vegetasi kawasan hutan lindung mangrove Muaragembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, semakin berkurang karena okupasi masyarakat yang didukung beberapa pengusaha tambak bandeng. Sejumlah masyarakat yang tergabung dalam @Ekail @BekasiGreenAttack dan @SaveMugo tengah berusaha mengembalikan fungsi kawasan hutan lindung mangrove tersebut seperti sediakala untuk mencegah abrasi daratan pantai utara dan intrusi air laut ke dataran yang lebih tinggi.
Kisah pun berawal dari tanah partikelir yang kemudian berubah status menjadi tanah negara bebas pada tahun 1949. Bupati Bekasi kemudian menyerahkan tanah seluas 9.311 hektar tersebut kepada Kepala Dinas Kehutanan Jakarta Raya. Menteri Pertanian kemudian menetapkan lahan eks partikelir Cabangbungib, Pondok Tengah, Babadan, Pangkalan, dan Terusan sebagai hutan tetap seluas 9.311 hektar. Berita Acara Tata Batas (BATB) kelompok hutan Ujung Karawang KPH Bogor dibuat tanggal 2 Februari 1957 dan disahkan 31 Mei 1957 seluas 10.481,1 hektar. Pemerintah kemudian menambah kawasan hutan tersebut seluas 1.123 hektar karena ada tanah timbul. Kawasan ini merupakan muara Sungai Citarum (sekarang yang disebut sebagai Muara Gembong) yang memiliki hulu di kawasan bendungan Jatiluhur. Perkembangan masyarakat yang semakin padat di kawasan tersebut membuat Menteri Kehutanan atas usulan Bupati Bekasi menerbitkan surat keputusan Menhut Nomor SK.475/Menhut-II/2005 pada 16 Desember 2005 untuk mengubah fungsi kawasan dari hutan lindung menjadi hutan produksi tetap seluas 5.170 hektar Masyarakat kemudian mendiami delapan desa dan tiga kecamatan yang berada di dalam kawasan tersebut.Sebelumnya, pihak Perhutani telah berkali-kali menanami mangrove di kawasan tersebut. Namun, masyarakat yang masih berada di dalam kawasan juga terus menebangi mangrove untuk membuat tambak, dan beberapa pendatang dari Indramayu menebang untuk dijadikan kampung nelayan.
 
Untungnya sejumlah masyarakat mulai mengerti arti pentingnya ekosistem mangrove bagi kelangsungan lingkungan tempat mereka tinggal lalu mulai ikut ambil andil dalam menjaga dan memanfaatkan buah pidada putih ( Sonneratia Alba) menjadi sirup, dodol, dan aneka makanan , selain itu beberapa Komunitas ( Seperti Bekasi Green Attack dan @SaveMugo ) berusaha mengembalikan fungsi hutan dari kerusakan yang lebih buruk.
Teman-Teman Kemangteer Jakarta yang ikut mengunjungi Muara Gembong

Hutan Mangrove di Muara Gembong sendiri, tidak hanya tempat pemijahan & daur hidup siklus hewan Crustaceae, Pisces, dan beberapa Mollusca, namun merupakan rumah bagi Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) dan Monyet Ekor Panjang. Mereka menggantungkan hidup pada Pohon Pidada yang tumbuh di sekitar kawasan delta dan muara Sungai Citarum tersebut. Sayangnya keberadaan mereka terancam punah akibat semakin tergusurnya habitat mereka karena ekstensifikasi tambak dan perburuan liar

Perlu diketahui ini guys, populasi lutung jawa (Trachypithecus auratus) semakin mengalami penurunan, karena itu pada 2008 dikategorikan oleh IUCN Redlist dalam status konservasi Terancam (Vulnerable).  CITES juga memasukkan spesies ini dalam Apendiks II. Ancaman utama terhadap lutung jawa disebabkan oleh berkurangnya habitat sebagai dampak deforestasi dan perburuan yang dilakukan manusia.

“Dulunya tambak-tambak itu adalah hutan bakau. Karenanya kita ngumpulin donasi untuk membayar lahan tambak itu untuk kita jadikan kembali hutan bakau, agar kembali ke asalnya sebagai habitat Lutung Jawa salah satunya,” jelas Bang Arif.

 



Kelompok Lutung Jawa Muara Gembong yang hidup di antara pidada
Warakas, mangrove asosiasi yang digunakan sbg bahan baku keripik
Acanthus ebracteatus, mangrove asosiasi sebagai obat asma & penawar racun
Perkampungan yang nyaris tenggelam karena termakan abrasi

salah satu monyet yang "menyambut pengunjung

salah satu sudut sungai di Muara Gembong
Menelusuri bantaran sungai
Penduduk memanfaatkan buah pidada untuk dijadikan sirup dan aneka jajanan

Senin, 06 Oktober 2014

SUAKA MARGASATWA MUARA ANGKE



Di antara hutan tembok Jakarta beruntunglah masih tersedia hutan bakau (mangrove) di pesisir utaranya. Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) adalah rumah bagi beraneka jenis burung dan satwa yang kini pastinya sulit ditemukan kembali di wilayah Jakarta.
Kawasan sekira 25.02 ha ini telah ditetapkan sebagai kawasan suaka alam sejak 1939 dengan status cagar alam. Berikutnya berubah status menjadi suaka margasatwa sejak tahun 1998. Inilah kawasan konservasi yang edukatif dan akan menggugah kesadaran tentang pelestarian lingkungan.



Mengapa hutan mangrove atau hutan bakau begitu penting? Jenis hutan ini sangat unik karena gabungan tumbuhan darat dan laut. Ciri tumbuhannya memiliki akar menonjol yang dipengaruhi pasang surut air laut. Hutan mangrove sangat penting bagi kehidupan manusia karena berfungsi melindungi daratan dari terjangan ombak, mencegah abrasi, dan mencegah intrusi air laut jauh ke daratan.

Dengan didampingi oleh Pak Resi Jati dan Ibu Mila dari BKSDA DKI Jakarta, teman-teman dari kemangteer Jakarta dan gue nih memperoleh kesempatan untuk menelusuri SMMA dan melakukan tambal sulam tanaman yang mati dengan menggantinya dengan bibit yang baru. Jarang-jarang bisa dapet izin masuk ke kawasan itu, thanks God banget buat Pak Reza Ramadhan yang udah berjuang mengusahakan teman-teman kemangteer buat bisa melakukan mangroving di sana

Vegetasi awal di SMMA adalah hutan mangrove pantai utara Jawa, dengan keanekaragaman jenis yang cukup tinggi. Akan tetapi akibat tingginya tingkat kerusakan hutan di wilayah ini, saat ini diperkirakan hanya tinggal 10% yang tertutup oleh vegetasi berpohon-pohon. Sebagian besar telah berubah menjadi rawa terbuka yang ditumbuhi rumput-rumputan, gelagah (Saccharum spontaneum) dan eceng gondok (Eichchornia crassipes). (Note : memang sesuai namanya, tuh taneman emang bikin gondok merusak suasana konservasi SMMA )
Tercatat sekitar 30 jenis tumbuhan dan 11 di antaranya adalah jenis pohon, yang hidup di SMMA. Pohon-pohon mangrove itu di antaranya adalah jenis-jenis bakau (Rhizophora mucronata, R. apiculata), api-api (Avicennia spp.), pidada merah (Sonneratia caseolaris), dan nipah (Nypa fruticans). dan kayu buta-buta (Excoecaria agallocha). Beberapa jenis tumbuhan asosiasi bakau juga dapat ditemukan di kawasan ini seperti ketapang (Terminalia catappa
Menikmati SMMA bisa dari atas menara yang bangun di antara pohon pidada merah
 
Nipah, salah satu mangrove yang banyak tumbuh di SMMA

Selain jenis-jenis di atas, terdapat pula beberapa jenis pohon yang ditanam untuk reboisasi. Misalnya asam Jawa (Tamarindus indica), bintaro (Cerbera manghas), kormis (Acacia auriculiformis), nyamplung (Calophyllum inophyllum), tanjang (Bruguiera gymnorrhiza), dan waru laut (Hibiscus tiliaceus).
Bukan sekadar kawasan konservasi tetapi Anda dapat pula melihat hewan-hewan yang masih pemalu dan reaktif. Bagi penggemar fotografi maka berburulah burung bukan untuk ditembaki tetapi ditangkap keindahannya dengan lensa kamera Anda. Apabila beruntung bisa saja bertemu burung langka endemik jawa yaitu bubut jawa (Centropus nigrorufus) dimana jumlahnya tidak lebih dari 10 ekor.
Seorang Ibu dan Anaknya di antara dahan Sonneratia caseolaris

Seekor monyet ekor panjang & anaknya, sang penghuni SMMA

bibit mangrove Rhizopora sp.

Terdapat sekitar 91 jenis burung meliputi 28 jenis burung air dan 63 jenis burung hutan, 17 jenis di antaranya adalah jenis burung yang dilindungi. Ada pula monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) bergelantungan di pepohonan , nah si monyet ini banyak banget dan selalu siap bergaya ala ala model begitu disodori kamera dan katanya di bawah jembatan di area basah mangrove di dalamnya terdapat berbagai spesies reptilian, ( beruntung waktu itu ga nemuin buaya hehehe)

Sabtu, 04 Oktober 2014

#SEPTEMBER Mangroving di Pulau Pari

Mangrove
Peserta Kemangteer Jakarta #September 2014

Jalan- jalan ga harus seneng-seneng mulu, tapi juga bisa memberikan kesan dan manfaat positif kepada daerah yang dikunjungi. Bulan lalu nih, gue berkesempatan untuk melakukan trip ekowisata ke Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta bersama teman-teman dari @KemangteerJKT

Awalnya sih keberangkatan dijadwalkan pukul 7.00 tapi sayangnya sempat mengaret hampir satu setengah jam dikarenakan antrian kapal yang luar biasa dari biasanya ( kapal ada yang sampe tabrakan cuy! ckckck) . Banyak wisatawan yang hendak mengunjungi Kepulauan Seribu dan membuat dermaga Muara Angke menjadi melebihi kapasitas sehingga menyebabkan antrian panjang yang membuat ricuh orang-orang (saking ricuhnya ada teriakan ibu-ibu dimana-mana untuk mengamankan putera-puteri mereka agar tidak lenyap dari pandangan hehehe). Di setelah chaos yang tak kunjung berakhir, akhirna kamipun selamat mendaratkan kaki di kapal ang akan membawa kami ke Pulau yang terkenal dengan Pantai Pasir Perawan.
Tembakau, Mangroving


Ternyata Ibukota Negara ini isinya ga cuma gedung-gedung melulu ya. Ada juga hamparan luas laut yang membentang dari Teluk Jakarta hingga Pulau Sebira di Laut Jawa yang dipenuhi banyak gugusan kepulauan. Di kanan kiri sejauh pandangan melirik banyak pulau-pulau yang ditemui seperti Pulau Bidadari, Pulau Onrust, Pulau Rambut, Pulau Untunng Jawa, Pulau Rambut dsb. Dan ga terasa nih 90 menit perjalanan dengan kapal kayu akhirnya sampai juga di Pulau Pari. Rasa kesel dan mual di perjalananpun lenyap sudah terbang bersama angin sepoi-sepoi di hamparan pasir putih di tepi dermaga.

Kalo ke Pulau Pari ga pake Snorkling, Rugi banget. Ada banyak terumbu karang di sini yang wajib hukumnya ditengok diperhatikan dan disayangi ( halah lebay hahaha) eh tapi serius nih, terumbu karang emang harus disayangi dan dilindungi karena merupakan aset laut yang memiliki banyak manfaat untuk lingkungan, soo..... awas & hati-hati kalo snorkling jangan sampe keinjek terumbu karangnya nanti coralna bisa mati & kaki jadi lecet.

Kepulauan Seribu
Snorkling

Setelah bersenang-senang ke sana ke mari, naik sepeda muter-muter pulau, Kami harus melakukan tujuan awal kenapa kami semua memijakan kaki di tanah putih ini, Mangroving! Yup, ada 200 batang bibit mangrove Rhizopora ( Bakau) yang siap kami "lepaskan" di hamparan pesisir pulau . Booming wisata sejak lebih kurang empat tahun lalu di pulau ini, memang tidak hanya memberikan pengaruh & perubahan kepada masyarakat sekitar: perekonomian yang semakin baik, semakin terbuka lapangan pekerjaan,namun juga memberikan pengaruh kepada lingkungan sekitar. Tak Jarang banak wisatawan yang hanya datang, menikmati, duduk, senang2 dan meninggalkan begitu saja "sisa-sisa" kesenangan yang membuat lingkungan dan ekosistem di Pulau Pari semakin terganggu.

Nah untuk itulah, kami bersama-sama @KemangteerJKT ingin memberi contoh Sadar Wisata dan Sadar Lingkungan. Aksi Tanam Mangrove dan Memungut Sampah Plastik merupakan agenda kami pada Minggu pagi di sekitar kawasan Pantai Pasir Perawan, kami berharap aksi kecil kami dalam upaya melestarikan lingkungan pesisir akan menyadarkan para turis bahwa alam indah yang kita nikmati juga harus dijaga, bukan hanya tanggung jawab petugas kebersihan dan pemerintah, namun juga tanggungjawab kita bersama. Kalo lingkungannya bersih dan terjaga kan kita semua bisa menikmati objek wisata dengan nyaman, betul ga ?

Miss Earth
Penanaman Bakau oleh salah satu peserta
Bakau yang telah ditanam di Pantai Pasir Perawan
Bakau
Penanaman Bakau di antara rumpun mangrove